Teungku Hasan Muhammad di Tiro
(lahir di Pidie, Aceh, 25 September 1925 – meninggal di Banda Aceh, 3 Juni 2010 pada umur 84 tahun) adalah seorang tokoh pendiri Gerakan Aceh Merdeka, sebuah gerakan yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Gerakan tersebut resmi berdamai lewat perjanjian Helsinki pada 2005 dan melucuti senjata mereka. Hasan dianggap "wali", karena dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro, pahlawan nasional Indonesia yang berperang melawan Belanda pada 1890an.
Kehidupan awal
Berasal dari sebuah keluarga terpadang,dari desa Tiro di Kabupaten Pidie, di Tiro belajar di Yogyakarta dan melawan Belanda saat Revolusi Nasional Indonesia. Ia kemudian melanjutkan belajar di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi Indonesia untuk PBB. Saat belajar di New York pada 1953, ia mendeklarasikan dirinya sebagai "menteri luar negeri" untuk gerakan pemberontak Darul Islam, yang di Aceh dipimpin Daud Beureueh. Karena aksi ini, ia dicabut kewarganegaraan Indonesia, menyebabkan dia dipenjara di Penjara Ellis Island sebagai warga asing ilegal Pemberontakan Darul Islam di Aceh sendiri berakhir dengan perjanjian damai pada 1962. Dibawah perjanjian damai, Aceh diberikan status otonomi.Mendirikan GAM
Dia menyatakan organisasinya sebagai Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera, lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976.
Di antara tujuannya adalah kemerdekaan penuh Aceh dari Indonesia. Di Tiro memilih kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM, bukan otonomi khusus daerah, karena fokus pada sejarah Aceh sebelum masa kolonial Belanda sebagai sebuah negara merdeka. GAM berbeda dari pemberontakan Darul Islam yang berusaha untuk menggulingkan ideologi Pancasila yang sekuler dan menciptakan negara Islam Indonesia berdasarkan syariah. Dalam "Deklarasi Kemerdekaan", ia mempertanyakan hak Indonesia untuk berdiri sebagai negara, karena pada asalnya itu adalah negara multi-budaya berdasarkan kekaisaran kolonial Belanda dan terdiri dari negara-negara sebelumnya yang terdiri atas banyak sekali etnis dengan sedikit kesamaan. Dengan demikian, di Tiro percaya bahwa rakyat Aceh harus memulihkan keadaan pra-kolonial Aceh sebagai negara merdeka dan harus terpisah dari negara Indonesia.
Pada tahun 1977, setelah memimpin serangan GAM di mana salah satu insinyur Amerika Serikat tewas dan satu insinyur Amerika lain dan satu insinyur Korea Selatan terluka, Hasan diburu oleh militer Indonesia. Ia ditembak di kaki dalam sebuah penyergapan militer, dan melarikan diri ke Malaysia.
Dari tahun 1980, di Tiro tinggal di Stockholm, Swedia dan memiliki kewarganegaraan Swedia.
Selama periode ini Zaini Abdullah, yang menjadi gubernur Aceh pada Juni 2012, adalah salah satu rekan Aceh terdekatnya di Swedia. Setelah tsunami pada bulan Desember 2004, GAM dan pemerintah Indonesia setuju untuk menandatangani perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada Agustus 2005. Menurut ketentuan perjanjian perdamaian, yang diterima oleh pimpinan politik GAM dan disahkan oleh di Tiro, Aceh mendapat status otonomi yang lebih besar. Tak lama setelah itu, sebuah Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh disahkan oleh parlemen nasional di Jakarta untuk mendukung pelaksanaan perjanjian damai. Pada bulan Oktober 2008, setelah 30 tahun pengasingan, di Tiro kembali ke Aceh.
Selama konflik, pada tiga kesempatan terpisah pemerintah Indonesia keliru menyatakan bahwa Hasan di Tiro telah meninggal.
Kembali ke Aceh
Pada 11 Oktober 2008, setelah 30 tahun, dia kembali ke Banda Aceh. Masalah kesehatannya membuatnya tak berperan aktif dalam percaturan politik Aceh selanjutnya. Dia kembali ke Swedia dua pekan berikutnya.Setahun kemudian, ia kembali ke Aceh, dan bertahan di sana sampai kematiannya.Pada 2 Juni 2010, Hasan dianugerahi status warga negara oleh pemerintah Indonesia. Hari berikutnya, ia wafat di rumah sakit di Banda Aceh.
No comments:
Post a Comment