"...yakni bahwa orang Jawa begitu mencintai budaya kepercayaan mereka (Kejawen).."
Segera setelah merebaknya kasus pembacaan Alquran berlanggam Jawa di Istana Negara beberapa hari lalu, seorang kawan berkata, apa yang Merle Calvin Ricklefs katakan memang benar. Lewat bukunya, Mengislamkan Jawa, profesor Australian National University itu memang pernah berkata bahwa sejatinya orang Jawa tak pernah ikhlas menerima Islam.
Selain kontroversial, pernyataan Ricklefs memang belum sepenuhnya benar. Yang Ricklefs bilang mungkin masuk akal, yakni bahwa orang Jawa begitu mencintai budaya kepercayaan mereka (Kejawen). Karena itu, bisa dikatakan nyaris semua agama yang datang ke Jawa mengalami sinkretisme.
Misalnya, pada agama Budha yang relatif tidak mengenal konsep Divine alias causa prima, konsepsi Budha di Jawa mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, konsep Hindu tentang tiga dewa utama (Trimurti), diadaptasi ke dalam konsepsi Jawa dengan penambahan Sang Hyang Widhi.
Demikian pula pada saat kedatangan Kristen. Kita kenal Sadrach, seorang misionaris pribumi yang tergolong sukses melakukan Kristenisasi Jawa melalui sinkretisme. Tidak hanya mencantumkan kyai di depan namanya, Sadrach juga menggunakan banyak tradisi Jawa dalam menyukseskan agenda misinya.
Sinkretisme ini bahkan tak hanya dilakukan misionaris pribumi. Conrad Laurens Coolen, seorang misionaris keturunan Rusia-Solo, meraih sukses dalam misi Kristenisasi juga dengan cara yang disebutnya kontekstualisasi. Apa itu? Misalnya, Coolen tak ragu memakai jampi-jampi dan mantera dalam upayanya.
Bahkan Coolen dengan yakin memasukkan unsur kepercayaan dan keyakinan mistik Jawa. Misalnya, karena masyarakat Jawa yang agraris mempercayai Dewi Sri, Coolen melakukan ritual dengan pertama-tama memohon kepada Dewi Sri, diakhiri dengan nama Yesus yang diajarkannya merupakan Dewa yang lebih besar.
Dan bukankah umat Islam pun mengakui bahwa hanya dengan cara-cara adaptasi dan pendekatan budaya, Wali Songo bisa mengislamkan Tanah Jawa? Barangkali, hal itu sesuai dengan peribahasa di mana Bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Atau Sebagaimana kata Julian Pitt-Rivers (1963) dalam esainya tentang sosiologi Mediteranea, "You cannot be a Brahmin in the English countryside."
Misalnya, untuk menjawakan Islam, dalam Kitab Usulbiyah yang ditulis Sultan Agung, digambarkan bahwa;
Nabi Muhammad SAW mengenakan mahkota emas dari Majapahit. Tak hanya itu, dikatakannya bahwa membaca kitab ini --Usulbiyah-- setara dengan menggenapi dua dari lima rukun Islam.
Menurut Profesor Ricklefs, ada “Sintesis Mistik,” yang terjadi pada orang Jawa yang Islam. Di sana ada 3 pilar utama, (1) menjadi orang Jawa berarti menjadi Muslim, (2) melaksanakan rukun Islam (mengucapkan syahadat, Shalat 5 waktu, puasa, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, (3) kontradiksi dari keduanya: penerimaan terhadap realitas kekuatan supranatural khas Jawa, seperti Ratu Adil, Sunan Lawu, dan banyak lagi makhluk adikodrati yang lebih rendah.
Islam Kejawen |
Kembali ke Ricklefs, penentangan terhadap pengislaman Tanah Jawa tidak lekang oleh waktu. Setelah sebagian besar Jawa menganut Islam pun, penentangan tak berhenti. Misalnya, pada 1870-an, para penulis di Kediri meramu berbagai ejekan dan olok-olok mengenai Islam dalam tiga karya sastra, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmoghandul.
Tiga karya itu adalah karya yang tak jarang sarkastis. Versi lebih lunak yang menginginkan agar orang-orang Jawa tetaplah njawani dan tidak berlaku laiknya orang Arab yang dalam sisi lain dipandang menjadi seorang Muslim kaffah atau seutuhnya, pun tidak jarang.
Misalnya, dalam Serat Wedhatama (Kebijakan yang Lebih Agung), Mangkunegara IV bersyair:
"Jika kalian berkeras untuk meniru
Teladan Sang Nabi
Duhai Putra-putriku, kalian melakukan hal yang mustahil
Artinya kalian tak akan bertahan lama
Karena kalian ini orang Jawa
Sedikit saja sudahlah cukup."
Kini, apakah kita bisa mengatakan bahwa kasus pembacaan Alquran dengan langgam Jawa di Istana adalah bentuk purifikasi Jawa dalam konteks Islam?
Apakah kasus itu juga bisa menjadi contoh penentangan Jawa untuk menjadi Islam sepenuhnya? Biarlah Anda jawab sendiri.
Namun, barangkali pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, adalah keputusan yang sangat bijak.
Pada sebuah kesempatan Dien berkata;
"Saya percaya bahwa gerakan Muhammadiyah memang memiliki akar kultural kuat pada nilai-nilai ke-Indonesiaan. Tapi Muhammadiyah memilih untuk mensenyawakan nilai-nilai Islam pada budaya Indonesia untuk 'Indonesia yang Islami', bukan 'Islam yang Indonesiawi."
Sumber dari Inilahcom
No comments:
Post a Comment