Sunday, August 30, 2015

Extra Judicial Killing: Kisah Junaidi Lebih Miris dari Ridwan

 Extra Judicial Killing: Kisah Junaidi Lebih Miris dari Ridwan
Seorang penjahat, bila tewas dalam sebuah upaya melawan penegak hukum saat penyergapan mungkin hal yang biasa terjadi. Masyarakat pun tidak seberapa terkejut mendengarnya.

Namun bila penjahat itu ditembak penegak hukum saat sudah menyerah atau tanpa perlawanan, maka itu pelanggaran hukum yang terjadi di negara hukum seperti Indonesia. Belum lagi menyisakan kepiluan yang mendalam bagi keluarganya bahkan bagi masyarakat luas.

Timsus Polda Aceh usai kontak tembak dengan kelompok Ridwan (35) anggota Din Minimi di Desa Pulo Meuria Gereudong Pasee Aceh Utara, kamis 20 agustus 2015

Dan begitulah yang dialami Ridwan seorang pria Desa Pulo Meuria, Kec. Gereudong Pasee, Aceh Utara, yang diklaim anggota kelompok bersenjata Din Minimi. Dirinya tewas dirumahnya dengan kondisi berlumuran darah setelah timah panas aparat kepolisian menembus bagian tubuhnya pada 20 Agustus 2015 lalu.
Dilansir Viva.co.id, Kapolres Lhokseumawe AKBP Anang Triarsono menuturkan saat kejadian ada empat anggota Din Minimi lainnya, namun mereka berhasil kabur. “Ya, empat rekannya berhasil melarikan diri, sampai sekarang masih kita lakukan pengejaran,” ujar Anang.

Saat itu pula hal tersebut langsung menjadi headline news berbagai media. Namun kesaksian salah seorang sumber acehbaru.com ternyata bertolak belakang dengan apa yang dikatakan hal tersebut, yakni saat diserbu polisi, Ridwan hanya sendirian di rumah, tidak anggota Din Minimi lain bersamanya sebagaimana yang banyak diberitakan.

Situs Juangnews.com merilis keterangan Abdisyah (50) abang kandung Ridwan, menurutnya tidak ada kontak tembak sore itu. Hanya terjadi tembakan sepihak dari aparat kepolisian.

 Abdisyah mengisahkan, saat disergap petugas, Ridwan sedang berada di dalam rumah dan hendak melarikan diri, lalu dipanggil dan ditembak dalam jarak dekat. Akibat terkena tembakan petugas korban langsung tersungkur meninggal dunia di samping rumah.




Hal serupa juga dialami Junaidi alias Brujuek. Dia juga diklaim salah-satu anggota Din Minimi yang telah lama masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) aparat kepolisian. Pada Kamis 27 Agustus 2015, dirinya tewas ditembak aparat kepolisian.

Tapi kisah Brujuek lebih miris dari Ridwan. Pasalnya, menurut sumber acehbaru.com Brujuek sempat meminta ampun sebelum ditembak. Namun ampun tinggallah ampun, peluru polisi dengan bringas melesat dan menembus bagian dada, leher dan kepalanya. Padahal saat itu Brujuek tak ada upaya melarikan diri atau bentuk perlawanan lainnya.

Hal ini juga bertolak belakang dengan yang dikatakan Kapolres, di mana Brujuek melakukan upaya melarikan diri dari sergapan petugas.

Berbagai kecaman pun datang baik dari lembaga maupun netizen yang mewarnai dunia maya karena tindakan penembakan terhadap Brujuek dinilai tak bermoral. Biarpun dituduh telah melakukan serangkaian kejahatan, namun ada hukum yang akan menghukumnya, bukan langsung diproses dengan timah panas di tempat.

Kejadian ini juga menjadi goresan bagi masyarakat, di mana Aceh yang telah damai harus kembali terkejut dengan kejadian-kejadian yang membawa kembali mengingat masa konflik yang bersimbah darah.



 Bahkan para netizen menyebut aksi tim Polda Aceh yang menembak mati terduga adalah Extra judicial killing (pembunuhan di luar proses peradilan, red) melanggar hukum indnesia dan hukum internasional. “Harus ada yang lakukan pendampingan keluarga, diadvokasi sampai kepengadilan” Tulis Netizen. 
Extra judicial killing (pembunuhan di luar proses peradilan, red) adalah kejahatan yang dikutuk oleh dunia internasional karena merendahkan harkat dan martabat manusia. Hak untuk hidup merupakan hak paling utama dari empat aspirasi tertinggi hak asasi manusia, disusul kemudian oleh hak kebebasan, hak kebersamaan dan hak membangun, Hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 
Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra dalam rilis yang diterima menilai tindakan yang dilakukan kepolisian saat sudah sangat menyalahi aturan yang dibuat oleh kepolisian sendri, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri [Perkap] No 1 Tahun2009, di mana dalam pasal 5 menjelaskan tentang tahapan kepolisian dalam upaya penggunanan kekuatan, dimana penggunaan senjata api merupakan upaya terkahir dalam penggunakan senjata api  bukan upaya pertama.

“Akan tetapi selama ini upaya penggunakan senjata api yang lebih ditonjolkan oleh pihak kepolisian kita, hal ini menunjukan kalau Polda Aceh gagal menerapkan prinsip polmas yang selama ini sudah dibangun di Polda Aceh,” Kata Hendra.

sumber:http://www.acehbaru.com

No comments:

Post a Comment