Sunday, August 30, 2015

Extra Judicial Killing: Kisah Junaidi Lebih Miris dari Ridwan

 Extra Judicial Killing: Kisah Junaidi Lebih Miris dari Ridwan
Seorang penjahat, bila tewas dalam sebuah upaya melawan penegak hukum saat penyergapan mungkin hal yang biasa terjadi. Masyarakat pun tidak seberapa terkejut mendengarnya.

Namun bila penjahat itu ditembak penegak hukum saat sudah menyerah atau tanpa perlawanan, maka itu pelanggaran hukum yang terjadi di negara hukum seperti Indonesia. Belum lagi menyisakan kepiluan yang mendalam bagi keluarganya bahkan bagi masyarakat luas.

Timsus Polda Aceh usai kontak tembak dengan kelompok Ridwan (35) anggota Din Minimi di Desa Pulo Meuria Gereudong Pasee Aceh Utara, kamis 20 agustus 2015

Dan begitulah yang dialami Ridwan seorang pria Desa Pulo Meuria, Kec. Gereudong Pasee, Aceh Utara, yang diklaim anggota kelompok bersenjata Din Minimi. Dirinya tewas dirumahnya dengan kondisi berlumuran darah setelah timah panas aparat kepolisian menembus bagian tubuhnya pada 20 Agustus 2015 lalu.
Dilansir Viva.co.id, Kapolres Lhokseumawe AKBP Anang Triarsono menuturkan saat kejadian ada empat anggota Din Minimi lainnya, namun mereka berhasil kabur. “Ya, empat rekannya berhasil melarikan diri, sampai sekarang masih kita lakukan pengejaran,” ujar Anang.

Saat itu pula hal tersebut langsung menjadi headline news berbagai media. Namun kesaksian salah seorang sumber acehbaru.com ternyata bertolak belakang dengan apa yang dikatakan hal tersebut, yakni saat diserbu polisi, Ridwan hanya sendirian di rumah, tidak anggota Din Minimi lain bersamanya sebagaimana yang banyak diberitakan.

Situs Juangnews.com merilis keterangan Abdisyah (50) abang kandung Ridwan, menurutnya tidak ada kontak tembak sore itu. Hanya terjadi tembakan sepihak dari aparat kepolisian.

 Abdisyah mengisahkan, saat disergap petugas, Ridwan sedang berada di dalam rumah dan hendak melarikan diri, lalu dipanggil dan ditembak dalam jarak dekat. Akibat terkena tembakan petugas korban langsung tersungkur meninggal dunia di samping rumah.




Hal serupa juga dialami Junaidi alias Brujuek. Dia juga diklaim salah-satu anggota Din Minimi yang telah lama masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) aparat kepolisian. Pada Kamis 27 Agustus 2015, dirinya tewas ditembak aparat kepolisian.

Tapi kisah Brujuek lebih miris dari Ridwan. Pasalnya, menurut sumber acehbaru.com Brujuek sempat meminta ampun sebelum ditembak. Namun ampun tinggallah ampun, peluru polisi dengan bringas melesat dan menembus bagian dada, leher dan kepalanya. Padahal saat itu Brujuek tak ada upaya melarikan diri atau bentuk perlawanan lainnya.

Hal ini juga bertolak belakang dengan yang dikatakan Kapolres, di mana Brujuek melakukan upaya melarikan diri dari sergapan petugas.

Berbagai kecaman pun datang baik dari lembaga maupun netizen yang mewarnai dunia maya karena tindakan penembakan terhadap Brujuek dinilai tak bermoral. Biarpun dituduh telah melakukan serangkaian kejahatan, namun ada hukum yang akan menghukumnya, bukan langsung diproses dengan timah panas di tempat.

Kejadian ini juga menjadi goresan bagi masyarakat, di mana Aceh yang telah damai harus kembali terkejut dengan kejadian-kejadian yang membawa kembali mengingat masa konflik yang bersimbah darah.



 Bahkan para netizen menyebut aksi tim Polda Aceh yang menembak mati terduga adalah Extra judicial killing (pembunuhan di luar proses peradilan, red) melanggar hukum indnesia dan hukum internasional. “Harus ada yang lakukan pendampingan keluarga, diadvokasi sampai kepengadilan” Tulis Netizen. 
Extra judicial killing (pembunuhan di luar proses peradilan, red) adalah kejahatan yang dikutuk oleh dunia internasional karena merendahkan harkat dan martabat manusia. Hak untuk hidup merupakan hak paling utama dari empat aspirasi tertinggi hak asasi manusia, disusul kemudian oleh hak kebebasan, hak kebersamaan dan hak membangun, Hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 
Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra dalam rilis yang diterima menilai tindakan yang dilakukan kepolisian saat sudah sangat menyalahi aturan yang dibuat oleh kepolisian sendri, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri [Perkap] No 1 Tahun2009, di mana dalam pasal 5 menjelaskan tentang tahapan kepolisian dalam upaya penggunanan kekuatan, dimana penggunaan senjata api merupakan upaya terkahir dalam penggunakan senjata api  bukan upaya pertama.

“Akan tetapi selama ini upaya penggunakan senjata api yang lebih ditonjolkan oleh pihak kepolisian kita, hal ini menunjukan kalau Polda Aceh gagal menerapkan prinsip polmas yang selama ini sudah dibangun di Polda Aceh,” Kata Hendra.

sumber:http://www.acehbaru.com

Aksi Polisi ‘Pencabut Nyawa’ di Aceh Kompolnas Diminta Turun Tangan

Banda Aceh – Terkait aksi polisi dari Polda Aceh main ‘cabut nyawa’ hampir dalam semua kasus pengejaran kelompok bersenjata Din Minimi tak terkecuali dalam kasus penangkapan Junadi alias Beureujuek, warga Sidomulyo Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, yang ditembak mati dimuka umum, KontraS Aceh minta Kompolnas turun tangan.

“itu penting juga untuk dilakukan pengusutan terkait dengan penggunaan senjata api yang dilakukan oleh kepolisian dalam melakukan upaya penuntas criminal bersenjata di Aceh apakah sudah seseuai dengan prinsip legalitas, nessisitas dan proprosionalitas dengan potensi ancamana yang dihadapi dan korban yang menjadi sasaran tembak di tempat oleh kepolisian, untuk itu baik penegakan hukum internal ataupun Kompolnas harus segera melakukan uji balestik terhadap senjata yang digunakan dan juga kepada korban harus segera dilakukan autopsi supaya bisa diketahui apakah betul dia melakukan perlawanan serta dalam jarak berapakah korban di tembak, jangan-jangan tidak ada upaya perlawanan dari korban dan jarak tembak yang sangat dekat dilakukan oleh kepolisian” Tulis Koordinator KontraS Aceh dalam rilis yang diterima acehbaru.com, Jum’at, 28 Agustus 2015.

Junaidi alias Brujuek (30) anggota Din Minimi tewas ditembak di SPBU Batu Phat, Kamis 27 Agustus 2015

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh juga mendesak pihak Kompolnas untuk mengusut tindakan anggota kepolisian yang selama ini kerap melakukan upaya penembakan daripada pencegahan lainnya dalam pengungkapan perbuatan krimininalitas bersenjata di Aceh.
“Ini bisa kita lihat pada kejadian di Limpok Aceh Besar, Grong-Grong Pidie, Geureudong Pase Aceh Utara dan terakhir SPBU Batupat semua korbannya tewas di tempat” Kata Hendra Saputra.

Ini Rentetan Insiden tewasnya Anggota Din Minimi


Entah hari naas bagi anggota kelompok bersenjata pimpinan Nurdin Ismail alias Din Minimi atau cuma hanya kebetulan saja terjadi. Pastinya sudah 5 orang anggota mereka meninggal pada hari Kamis.

Berikut rentetan kejadian yang menimpa anggota Din Minimi
Kamis, 21 Mei 2015
Saat itu timsus Polda Aceh bersama aparat dari Kodim Pidie mengepung tempat persembunyian Din minimi di Desa Gintong Kecamatan Grong Grong Kabupaten Pidie, dalam kontak tembak tersebut tiga orang anggota nya tewas tertembak. korban yang tewas pada kejadian tersebut diantara nya, Ibrahim Yusuf, 42, warga Gampong Cirieh, Kecamatan Delima, Pidie, Subki, alis Kacok 32, warga Pulo Meuria Kecamatan Geureudong Pase Kabupaten Aceh Utara serta Yusliadi, 27, alias Mae pong, warga Aceh Timur. Dalam kejadian tersebut polisi mengklaim mengamankan 3 pucuk senjata serta ratusan butir amunisi aktif

Kamis, 20 Agustus 2015
Ridwan 30 tahun warga Desa Pulo Meuria Kecamatan Geureudong Pase juga tewas di samping rumahnya, tubuh Ridwan roboh ketanah setelah 7 butir peluru milik polisi menembus tubuhnya. Ridwan tidak sempat beradu peluru dengan polisi walau ia memiliki satu pucuk senjata api AK-56, serta peluru 2 magazen, ia hanya sempat melepaskan 3 butir peluru dari 60 butir yang ia miliki. Selain membunuh Ridwan polisi juga menyita rompi anti peluru serta sepeda motor Rx King

Kamis, 27 Agustus 2015
Timsus polda Aceh Menembak Mati Junaidi Alias Bureujuk 30 Tahun warga Desa Sido Mulyo Kecamatan Nisam Antara Kabupaten Aceh Utara, Kejadian tersebut terjadi di tempat stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Blangthupat Kecamatan Muara satu Kota Lhokseumawe, Junaidi Tewas setelah dua peluru menembus dada dan leher nya, Kejadian nya Juga hari Kamis tanggal 27 Agustus 2015
Junaidi di tembak polisi tanpa memiliki senjata api bersamanya, saat bersamaan polisi juga membekuk Ismuhar warga Batuphat yang hari itu jalan bareng bersamanya. Insiden ini memunculkan protes keras dari pengguna facebooker, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat serta LBH. Karena eksekusi mati yang diterima Brujuek dianggap tidak wajar, karena ia dibunuh setelah duluan minta ampun dan dia tidak sedang bersenjata.

Hasan Tiro, Perawat Literasi Atjeh

Hasan Tiro, Perawat Literasi Atjeh
JIKA kita lebih objektif, Hasan Tiro (1925-2010) pada masa muda sebenarnya sangat mencintai Indonesia. Sebagai pengurus Barisan Pemuda Indonesia (BPI), ia mengibarkan bendera Merah Putih—bendera yang di kemudian hari dikecamnya habis-habisan—di Lamlo, Pidie, tak lama setelah Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Saat itu usianya baru 20 tahun.

Pada 17 November atau tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik, Tiro mengikuti rapat akbar pembentukan Laskar Mujahidin di Masjid Tiro. Dalam rapat itu, muncul rekomendasi membentuk barisan perang, dan bersumpah-setia mempertahankan kemerdekaan. Saat itu Tiro tak hanya memilih jalan perang, ia juga mulai berjuang melalui pena. Tiro tercatat pernah menjadi wartawan Koran Semangat Merdeka yang digawangi Teungku Ismail Jacob dan Ali Hasjmy (seorang penulis tekun, sastrawan, sekaligus penerjemah). Di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan, alumni Normaal School Institute itu sempat-sempatnya menulis buku Mencapai Kemerdekaan pada 1946.

Tapi, seperti bunyi pepatah latin, Temporal muntatur etnos muntatur ilis, waktu itu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Begitu pula yang menimpa pemuda kelahiran Tanjong Bungong, Pidie, pada 25 September 1925 itu. Kebijakan represif Pemerintahan Ali Sastroamidjojo (1953-1955) saat membasmi pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan pada 1953-1954 membuat darah cucu Teungku Syik di Tiro, pahlawan nasional Indonesia, itu mendidih.

Dari tempat tinggalnya di 454 Riverside Drive, New York, mahasiswa Fakultas Hukum pada Columbia University yang juga staf Perwakilan Indonesia di New York, menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, seorang nasionalis kelahiran Magelang (1903-1976). Surat itu ditulis dengan mesin tik di atas kertas berkop Republik Islam Indonesia, dengan alamat di 489 Fifth Avenue, New York 17, N.Y. Surat itu dimuat oleh sejumlah suratkabar Amerika, juga suratkabar Indonesia yang terbit di Jakarta seperti Abadi, Indonesia Raya dan Keng Po.

Dalam suratnya, Tiro mendakwa Ali Sastroamidjojo “telah dan sedang terus menjerat bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara.” Tiro mendesak Sastroamidjojo untuk menghentikan pembunuhan anak bangsa di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.

Kemunculan Tiro pada 1954 itu tergolong berani. Ia menunggu momen yang tepat untuk mengecam pemerintahan Ali Sastroamidjojo, setahun setelah serdadu Indonesia menggempur kekuatan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh. Tiro yang mengamati perkembangan politik dalam negeri dari Amerika merasa saatnya genderang perang diplomasi ditabuh. Ia tanggalkan label mahasiswa ‘baik-baik’, dan memilih berjuang bersama gerakan yang ingin menegakkan negara Islam itu.

Surat itu pula membuat namanya mulai banyak dibincangkan, tak hanya di Indonesia, melainkan di dunia internasional. Ia seperti menemukan panggung yang tepat, tak hanya sekadar membela DI/TII, tapi sekaligus mengorbitkan ketokohan atas nama dirinya sendiri, saat mengangkat dirinya sebagai duta besar Negara Islam Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Sekiranya Hasan Tiro tidak menulis surat terbuka mengecam Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo itu, namanya mungkin tak pernah dikenal orang apalagi memberi pengaruh besar terhadap perjalanan sejarah Aceh di kemudian hari.

Penulis yang tekun
Orang-orang lebih mengenal Hasan Tiro sebagai pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemerintah Indonesia bahkan melabelinya “gembong separatis”. Tapi di balik sikap kerasnya itu, Tiro adalah penulis yang sangat tekun. Pada usia 22 tahun, Tiro sudah menerjemahkan buku As-Siyâsah asy-Syar’iyyah atau Dasar-dasar Negara Islam karya Prof. Abdul Wahab Khalaf.

Dapat dipahami mengapa saat Teungku Daud Beureu’eh mendirikan DI/TII Aceh pada 1953, Tiro menjadi pembela paling gigih. Boleh jadi, perjumpaan Tiro dengan ideologi Beureu’eh terkait (dan terpengaruh) dengan buku Guru Besar di Cairo University yang diterjemahkannya itu. Tiro sendiri menyimpan cita-cita untuk mendirikan sebuah Negara Islam di Aceh, seperti yang sedang diperjuangkan Beureu’eh.

Selesai menerjemahkan buku Dasar-dasar Negara Islam, Tiro terus melanjutkan aktivitas menulisnya. Pada 1948 atau akhir masa studinya di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sosok yang oleh Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara disebut “pemuda pendiam tapi memberi kesan cerdas dan cukup lincah” itu merampungkan buku Perang Atjeh 1873-1927. Dalam buku ini, Tiro banyak mengupas tentang heroisme pejuang Aceh melawan Belanda, dan perjuangan Indonesia Merdeka. Dari buku ini pula ada satu kesan bahwa Tiro begitu peduli pada sesuatu yang memiliki tekanan pada “Indonesia”.

Tiro juga disebut-sebut sebagai penulis buku Revolusi Desember ’45 di Atjeh atau Pembasmian Pengchianat Tanah Air yang diterbitkan oleh Pemerintah R.I. Daerah Atjeh.
Penerbitan buku ini dimaksudkan sebagai buku putih Perang Cumbok, perang antara ulama dan kaum uleebalang di Aceh. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, sejarawan Aceh M. Isa Sulaiman, meyakini Tiro sebagai penulis buku tersebut (baca: M Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah gugatan terhadap tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997).

Nama Tiro mulai diperhitungkan sebagai penulis serius setelah menerbitkan buku Demokrasi untuk Indonesia di Amerika pada 1958. Nada dalam buku ini serupa dengan surat terbuka yang pernah dikirimkan kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo empat tahun lalu. Tiro mengecam sangat keras konsep negara kesatuan yang diagungkan Sukarno dan angkatan darat.

Dalam pandangan Tiro, sebagai negara dengan wilayah kekuasaan cukup luas, keliru jika memaksakan Indonesia sebagai negara kesatuan. Sebab, dengan kekuasaan memusat di Jawa, keadilan dan kesejahteraan pasti tak akan merata. Tiro pun menawarkan konsep negara federasi sebagai pengganti negara kesatuan. Tahun 1960, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Democracy for Indonesia.
Buku Tiro ini menemukan momentum yang tepat ketika gelombang reformasi bergemuruh di Indonesia, terutama saat politisi Amien Rais mencetuskan ide negara federal di Indonesia. Tahun 1999, penerbit Teplok Press menerbitkan kembali buku Demokrasi untuk Indonesia dan menjadi bacaan para aktivis Indonesia. Ide-ide Hasan Tiro pada 1958 seperti menemukan relevansinya.

Pemikiran brilian Tiro bisa juga dilacak dalam buku Masa Depan Politik Dunia Melayu yang terbit pada 1965. Dalam buku ini, Tiro masih mengecam konsep negara kesatuan, dan kembali mengusulkan negara federasi untuk Indonesia. Banyak yang menilai, buku ini sebagai buku terbaik yang pernah ditulis Hasan Tiro, sekaligus menggambarkan betapa membuminya pemikiran dia untuk memajukan demokrasi di Indonesia. Namun, hingga kini, Indonesia masih berbentuk negara kesatuan yang dijaga dengan ketat dan keras.

Perawat literasi Atjeh
Selama bermukim di Amerika, Tiro banyak memburu manuskrip tentang “Atjeh” di berbagai perpustakaan di sana. Manuskrip-manuskrip ini dijaga dengan sangat rapi. Ketekunannya menjaga manuskrip lama, baik masa kesultanan Atjeh maupun ketika berperang dengan Belanda, bisa kita baca dalam bukunya Atjeh bak Mata Donja (Aceh di Mata Dunia). Dalam buku ini, Tiro mengutip dan mencantumkan kliping koran New York Times yang pernah menulis tentang Perang Aceh dengan Belanda.

Sewaktu bergerilya di hutan-hutan Aceh setelah deklarasi Aceh Merdeka tahun 1976, Tiro terus menulis pelbagai tajuk untuk membuka kesadaran “ke-Aceh-an” masyarakat Aceh. Tulisan ini disebarkan secara berseri dalam bentuk selebaran. Menurut pengakuan generasi tua GAM, Tiro juga melatih anggota GAM yang punya bakat menulis atau meminta mereka untuk membantu mengetik.

Di hutan Aceh pula, buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro mulai ditulis. Praktis sepanjang masa gerilya di hutan Aceh antara 1977-1979, Tiro menghabiskan banyak waktu dengan menulis catatan harian yang diterbitkan di London pada 1981. Dalam buku ini kita bisa membaca kisah masa kecilnya, pengalaman-pengalamannya di Amerika atau bagaimana pemikiran Friedrich Nietzsche merasuki pikirannya. Keputusannya pulang ke Aceh memimpin pemberontakan melawan Indonesia tak terlepas dari pengaruh bagian “Pengembara” dari buku Thus Spoke Zarathustra yang dibacanya.

Nezar Patria, wartawan dan peneliti Aceh, dalam esainya yang cemerlang, Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh (Kompas, 19 Oktober 2008), menulis “[…] entah soal taktik gerilya, negasi atas sejarah Indonesia, sampai kontemplasi hidup dan kematian, terajut dalam satu garis merah: upaya rekonstruksi sejarah. Dan, yang menarik, Hasan mengolah paragraf dari Nietzsche dalam tafsirnya atas momen kesejarahan Aceh.”
Pada 1986 Tiro menulis buku Perkara dan Alasan Perdjuangan Angkatan Atjeh Sumatera Merdeka. Di buku ini kita menjadi tahu bagaimana pengetahuan hukum yang dipelajarinya di Columbia University digunakan untuk mendukung perjuangan penentuan nasib sendiri Aceh, menurut kerangka hukum internasional. Tiro banyak mengupas tentang negara-negara koloni yang berhasil membebaskan diri dari penjajah. Aceh, menurutnya, punya alasan hukum untuk kembali berdiri sendiri sebagai sebuah negara.
Selain buku, Tiro cukup banyak menyiarkan tulisan lepas tentang demokrasi, hukum atau sejarah Aceh. Ia begitu terobsesi membuka kesadaran orang Aceh melalui pendidikan Aceh atau ia menyebutnya Acehnese Education. Hal itu tak hanya dilakukan melalui tulisan, melainkan juga lewat kaset-kaset ceramahnya sewaktu melatih pemuda Aceh di Libya.

Sosok yang pernah membuat gempar melalui suratnya pada 1954 ini sudah tiada. Namun, buku-buku, tulisan-tulisan, maupun ceramah-ceramahnya dengan mudah bisa ditemui. Sepanjang hayat ia merawat literasi “Atjeh” semampu yang ia lakukan. Tugas kita untuk kembali mengkaji karya-karya yang lebih selusin itu, siapa tahu kita menemukan batu manikam di sana, seperti seorang sopir taksi kelahiran Kurdistan di Berlin yang begitu mengagumi sosok Tiro. Ia sampai menolak menerima ongkos taksi setelah tahu penumpangnya berasal dari Aceh. “Tiro, Ja Tiro aus Aceh” atau Tiro dari Aceh, katanya.

Manuskrip Al-Quran Berusia 700 Tahun Ditemukan di Aceh

Aceh. Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh menampilkan sebuah manuskrip Al-Quran berusia 700 tahun dalam sebuah acara pameran Islami. Salinan Al-Quran tersebut diketahui hasil tulisan dari Syaikh Ibrahim Malik.
Manuskrip Al-Quran kuno.
 Untuk mengetahui kebenarannya, manuskrip Al-Quran tersebut akan diperiksa oleh lembaga pusat Kajian Khusus Sejarah Islam, Seni dan Budaya yang berpusat di Istanbul, Turki, seperti dikutip almokhtsar.com.
Penemuan Al-Quran kuno ini menyusul dengan ditemukannya manuskrip serupa dua pekan lalu di India yang menurut para ahli berusia 410 tahun.


 Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/08/31/73882/manuskrip-al-quran-berusia-700-tahun-ditemukan-di-aceh

Anggota Kelompok Bersenjata Din Minimi Ajak Rekannya Segera Menyerah

Empat anggota kelompok bersenjata pimpinan Nurdin Ismail alias Din Minimi (DM), dalam konferensi pers di Aula Mapolres Lhokseumawe, Minggu (30/8/2015). Tersangka Jalfanir alias Tgk Plang, Faisal alias Komeng, Zulkarnaini alias Glok dan  Musliadi alias Tgk Mus mengajak pimpinan mereka Din Minimi supaya turun gunung menyerahkan diri ke polisi.
LhokseumaweEmpat anggota kelompok bersenjata pimpinan Nurdin Ismail alias Din Minimi yang ditangkap Polres Lhokseumawe, meminta para rekannya yang saat ini masih dalam DPO polisi, supaya turun gunung dan menyerahkan diri ke polisi.
Dalam konferensi pers di Aula Mapolres Lhokseumawe, Minggu (30/8) keempat tersangka Jalfanir alias Tgk Plang, Faisal alias Komeng, Zulkarnaini alias Glok dan Musliadi alias Tgk Mus juga mengajak pimpinan mereka Din Minimi menyerahkan diri.

Wakapolres Lhokseumawe Kompol Isharyadi mengatakan, selain empat tersangka pihaknya sudah menangkap total lima belas (15) orang anggota kelompok bersenjata Din Minimi dan kini tahanan disel Polres Lhokseumawe.

Diantaranya Irwandi alias Kobra, Masrudin alias Doyok, Muzakir bin M.Nur, Tun Sri Muhammad Azrul Mukmini Al-kahar alias Abu Razak, Rudiny alias Rudi, M. Abidin alias Teungku Agam, Darkani alias Rungkom, M. Amiruddin alias Pong, M. Nasir alias Dhet, Zulkarnaini alias Glok, Jalfanir alias Teungku Plang, Rusdin alias Din alias Jack, Musliadi alias Tgk Mus, dan Mukhtar alias Tgk Tar dan Faisal alias Komeng.

Jalfanir alias Tgk Plang mengatakan, secara tegas kepada Abu Din Minimi, turunlah ada jalan lain untuk kita memperjuangkan aspirasi kita, supaya kita bisa membina keluarga dan orang tua. Tidak perlu takut dengan perlakuan polisi. "Kami sudah merasakan selama ini. Padahal kami ditangkap, bukan menyerahkan diri, tetapi diperlakukan sangat baik,"ucap Tgk Plang.

Tgk Plang sangat memohon kepada rekan-rekannya yang masih berada dihutan atau dimana saja seperti, Abu Din Minimi, Azhar alias Sihar, Robi, Abu Aziz, Gondrong, Adi Abon, dan Siteh yang masih tersembunyi dimana saja supaya turun gunung dan bisa memperjuangkan aspirasi secara baik. 

Jalfanir juga menyampaikan kepada Pemerintah Aceh, Eksekutif dan Legislatif tolong berikan keadilan seluas-luasnya untuk masyarakat Aceh. Karena masyarakat, anda-anda bisa merasakan ditempat itu," tambah Tgk Plang. 

sumber:http://www.acehinfo.com

Jauh Sebelum NKRI, Aceh Sudah Berdaulat Sebagai Kerajaan Merdeka

Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :

Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :
Soekarno

Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”

Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”

Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”

Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”

Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”

Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”

Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”

Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”

Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,

Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”

Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah,

Bung Karno bersumpah : “Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”

Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”

Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.

Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Acehbersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.

Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telahmenjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannyaatas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.

Sumber: Mohammad Said, Pengarang Buku "Aceh Sepanjang Abad Jilid Ke Dua"

Saturday, August 29, 2015

Aceh Merdeka, Hasan Tiro dan Sebuah Tafsir Sejarah


HASAN Tiro muda pada suatu hari pernah mengeluh sambil menangis kepada ibunya. Ia mengaku setiap hari selalu terlambat sampai di sekolah karena orang-orang yang ditemuinya di jalan selalu mencium tangannya. 
"Bila saya lewat, orang-orang yang duduk akan berdiri dan yang naik sepeda akan turun dari sepedanya untuk mencium tangan saya," katanya sambil menangis pada ibunya. 
Sang Ibu, seorang perempuan Aceh yang sabar, menjawab bahwa apa yang dilakukan orang-orang itu bukan untuk mengganggunya.
"Itu karena mereka menghormati kita," kata sang Ibu.
Hasan Muhammad di Tiro, adalah legenda. Kisah masa kecil itu ditulis Presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), sebuah organisasi yang yang biasa disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dalam catatan hariannya, The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro.
Ada kesan romantis dalam kisah itu. Hasan Tiro, tokoh besar di balik Gerakan Aceh Merdeka, adalah pria yang menikmati romantika perjuangan dan menikmati penghargaan orang pada dirinya.
Setelah mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro membuktikan perannya dalam upaya memerdekakan bangsa Aceh. Ia keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976-1979 untuk melawan pemerintah Indonesia. Pada 1979, karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.
Setelah isu Aceh merdeka kembali menjadi sorotan menyusul jatuhnya Soeharto, organisasinya muncul ke pentas internasional. Kesepakatan Jenewa tentang "Jeda Kemanusiaan" antara Indonesia dan GAM 12 Mei 2000 lalu, bagi sebagian kalangan, dinilai telah mengangkat posisi GAM di mata internasional.
Hasan Tiro bersama Ibu
Hasan Tiro punya modal untuk menghargai dirinya. Selain karena perjuangannya itu, juga karena ia adalah keturunan ketiga Teungku Syeh Muhammad Saman di Tiro. Hasan dilahirkan di Pidie, Aceh. Ia adalah anak kedua pasangan Teungku Pocut Fatimah dan Teungku Muhammad Hasan.
Teungku Pocut adalah cucu perempuan Teungku Muhammad Saman di Tiro. Karena posisinya sebagai keturunan Teungku Saman di Tiro itulah ia memegang kendali Gerakan Aceh Merdeka. "Darah biru" itu kemudian diperkaya dengan ilmu hukum internasional yang ditimbanya di Universitas Colombia, Amerika Serikat, sampai meraih gelar doktor.
Kepemimpinan dalam birokrasi Aceh merdeka merupakan sebuah takhta yang turun-temurun. Ceritanya berawal dari wafatnya Sultan Muhammad Daud Shah, sultan Kerajaan Iskandar Muda yang terakhir, pada 1874, karena berperang melawan Belanda.

Ketika itu Belanda memang di atas angin. Setelah berpuluh tahun tak mampu menguasai Aceh, pada 25 Desember 1873 pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Sweiten berhasil mencaplok Aceh dan menjadikannya koloni.
Di dalam kesultanan sendiri terjadi masalah karena anak sultan yang seharusnya menggantikan Muhammad Daud Shah baru berusia 12 tahun. Suksesi macet. Di tengah gentingnya suasana perang, kekuasaan lalu diserahkan ke Teungku Muhammad Saman di Tiro sebagai wali negara sekaligus panglima perang.
Dari Teungku Saman inilah perjuangan dan kekuasaan berlanjut secara turun-temurun. Ketika Teungku Saman wafat pada 1891, posisinya digantikan oleh anak laki-lakinya, Teungku Muhammad Amin. Saat Muhammad Amin gugur, ia digantikan oleh adiknya, Teungku Bed Ubaidillah.

Anak Muhammad Saman yang terakhir memimpin peperangan sebagai wali negara adalah Teungku Muhammad Ali Zainul Abidin. Ketika belakangan Ali Zainul wafat, ia diganti oleh keponakannya, Teungku Ma'at di Tiro. Yang terakhir ini juga tewas dalam peperangan pada 1911 (lihat silsilah keluarga Tiro).

Pasukan GAM terima pelatihan di Libya
Setelah itu, suksesi dalam klan Tiro mandek. Aceh bergumul dalam persoalan apakah akan menjadi bagian dari Indonesia atau berdiri sebagai negeri yang merdeka. Deklarasi untuk mendefinisikan posisi Aceh ini datang silih berganti, mulai dari diproklamasikannya Negara Islam Aceh oleh Daud Beureuh pada 1953, Republik Persatuan Indonesia pada 1960, sampai Republik Islam Aceh (RIA) pada 1961.
Baru pada 1976 Hasan Tiro, wali negara dari klan Tiro terakhir, muncul. Ia menghidupkan kembali ide Aceh yang sepenuhnya terpisah dari Indonesia. Pada tahun itu ia datang kembali ke Aceh setelah selama 25 tahun meninggalkannya. Di Aceh, sejumlah tokoh yang sebelumnya telah lama bergerilya melawan tentara Indonesia, seperti Daud Paneuk dan Teungku Haji Ilyas Leubee, menyambut kedatangan sang pemimpin.
Dalam Unfinished Diary, Tiro menggambarkan betapa hangat sambutan itu dan betapa dielu-elukannya dia sebagai pemimpin yang ditunggu-tunggu. 
"Ketika melintasi sungai, mereka bahkan tidak mengizinkan kaki saya basah oleh air. Mereka selalu membopong saya saat pasukan kami melintasi sungai," ujar Tiro.

Foto Dokumenter: Kembalinya Hasan ke Aceh 1976
Hasan Tiro memang berhasil menghidupkan kembali kepemimpinan dinasti Tiro dalam sejarah Aceh. Tapi sejarah, bagaimanapun, selalu melahirkan tafsir, pertanyaan, juga kritik. Pola suksesi ala kesultanan, misalnya, bagaimanapun menyisakan satu persoalan besar: bagaimana proses check and balance bisa diterapkan dan bagaimana aspirasi politik rakyat bisa diserap dalam sebuah sistem yang monolitik?
Lebih jauh, sebagian orang meragukan proses pengalihan kekuasaan dari Sultan Muhammad Daud Shah kepada Teungku Muhammad Saman di Tiro itu merupakan pengalihan kekuasaan yang multak. Husaini Hasan, tokoh Majelis Pemerintahan GAM (MP-GAM), sebuah sayap lain dari GAM Hasan Tiro, berpendapat yang terjadi saat itu sebetulnya adalah pengalihan kekuasaan sementara saja. Artinya, secara administratif, sebagai wali negara, klan Tiro suatu saat mesti mengembalikan kekuasaan itu ke Kesultanan Iskandar Muda.
Menurut Isa Sulaiman, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala, yang terjadi saat itu memang bukan penyerahan kedaulatan, melainkan pemberian semacam surat keputusan yang disebut sarakata. Sarkata itu memberi hak kepada Muhammad Saman untuk memimpin pasukan dan mengumpulkan uang guna membiayai angkatan perang. Selain kepada Muhammad Saman, sarakata juga diberikan kepada Teuku Umar untuk mengurus potensi maritim dan kelautan.
"Jadi, tidak ada penyerahan kedaulatan," kata Isa.
Jadi, apakah pengambilalihan itu tidak sah? Di mata sosiolog Universitas Syiah Kuala, Otto Syamsuddin Ishak, persoalannya bukan sah atau tidak sah. Masalahnya adalah secara psikologis ketika itu Aceh membutuhkan pemimpin. Teungku Muhammad Saman mengambil risiko sebagai pemimpin itu dan peran Kesultanan Iskandar Muda faktanya surut, seiring dengan terbunuhnya rajanya yang terakhir.
Dengan sudut pandang itu pulalah Otto menilai pertanyaan mengapa Hasan Tiro yang menjadi wali negara terakhir dan bukan abangnya, yakni Teungku Zainul Abidin, juga sama tidak relevannya. 
"Kepala negara di sini jangan dipahami dalam konteks politik normal, tapi dalam konteks konflik yang berkelanjutan," kata Otto.
Dengan sudut padang ini, harapan terhadap suksesi yang demokratis dalam kepemimpinan Aceh merdeka memang masih terlalu jauh. Pengalihan kekuasaan nyatanya memang baru dilandasi oleh kebutuhan atas pemimpin sesaat dan kebutuhan itu difasilitasi oleh sistem kesultanan yang melembaga.
Demikianlah, Hasan Tiro akhirnya memimpin Gerakan Aceh Merdeka sejak 1976. Dalam artikel-artikelnya yang ditulis setelah kepergiannya dari Aceh pada 1979, ia berkali-kali menegaskan bahwa pemerintahan Indonesia adalah sebuah pemerintahan ilegal.

Dalam artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law yang ditulisnya pada 1980, ia menggugat penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949 sebagai tindakan yang sewenang-wenang. Kedaulatan, menurut Hasan Tiro, dimiliki oleh bangsa Aceh dan bukan Indonesia. Hasan menandai 1949 sebagai tahun dimulainya penjajahan Indonesia/Jawa terhadap Aceh.
Tafsir sejarah oleh Hasan Tiro ini sempat digugat. Ibrahim Alfian, misalnya, sejarawan Aceh dari UGM, berpendapat bahwa menyerahnya Aceh ke Belanda pada 1873 membuktikan bahwa Aceh telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Belanda. Wilayah Belanda inilah yang menjadi basis penentuan wilayah Indonesia dalam sidang KMB.
"Wilayah Indonesia adalah wilayah Pax Nederlandica dan ini diakui secara internasional," kata Alfian.
Tapi Hasan Tiro berkeras. Menurut dia, seperti yang dituturkannya kepada wartawan televisi Belanda dalam sebuah wawancara pada 1996, mestinya kepada rakyat Aceh diberlakukan pemilihan umum sebelum keputusan KMB itu diketuk.
Sikap keras Hasan Tiro dalam menolak Indonesia ini sebenarnya berbeda dengan sikapnya pada era sebelumnya. Sebelum berangkat ke Amerika pada 1950, dia terlibat aktif dalam berbagai organisasi keindonesiaan. Ia, misalnya, bersama abangnya, Zainul Abidin, pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Hasan bahkan pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945.
Ketika Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara, Hasan pernah menjadi stafnya. Atas jasa Syafruddin jugalah Hasan mendapat beasiswa Colombo Plan ke Amerika. "Malah sambil kuliah dia diperbantukan sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB, " kata Isa Sulaiman. Artinya, pada suatu periode Hasan pernah menaruh harapan pada Indonesia.
Setelah pecah pemberontakan DI/TII, sikap Tiro mengeras. Dari Amerika, pada 9 September 1954, Hasan Tiro pernah memperingatkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar menghentikan serangan bersenjata kepada aktivis DI/TII di Aceh. Hasan belakangan juga terlibat dalam Republik Persatuan Indonesia, sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku sebagai perlawan terhadap pemerintahan Sukarno yang sentralistis.
Barulah pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. "Jadi, apa yang dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965," kata Isa Sulaiman.

 

Ide Aceh Sumatra diambil Tiro dari wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada masa jayanya kerajaan ini memang pernah sampai menguasai Lampung, Bengkulu, dan sebagian wilayah Malaysia. Dengan kata lain, pembebasan yang ingin dilakukan oleh GAM adalah pembebasan terhadap seluruh Sumatra.
Lalu tidakkah gagasan ini berarti penjajahan baru terhadap bangsa-bangsa lain di Sumatra? Zaini Abdullah, Menteri Kesehatan GAM, menolaknya. Menurut Zaini, jika saatnya nanti Aceh merdeka, GAM akan memberikan kebebasan kepada bangsa lain untuk menentukan sikap. GAM memandang alternatif yang terbaik adalah menjadikan kawasan lain di Sumatra sebagai federasi Aceh.
Jikapun kawasan lain menolak, tidak apa-apa. Jadi, dengan kata lain, GAM bisa menerima wilayah Aceh seperti yang ditunjukkan dalam peta Provinsi Aceh sekarang. Wilayah Aceh Sumatra merdeka tampaknya bukan harga mati.
Husaini Hasan bahkan mengatakan, ketika digagas dulu, kata Sumatra dipakai lebih sebagai identifikasi terhadap pulau tempat Aceh berada. Dengan gagasan-gagasan itulah GAM tumbuh. Bertahun-tahun tanpa pernah bisa dipatahkan sampai benar-benar tumpas. Dan Aceh telah damai.

Sumber; Majalah Tempo Interaktif 12 Juni 2000

Korban Tewas Tabrakan Beruntun di Indrapuri Mantan Kombatan

Korban tewas akibat tabrakan beruntun di Jalan Nasional Banda Aceh-Medan kawasan Indrapuri, Aceh Besar ketika dievakuasi ke RS Satelit Indrapuri, Sabtu (29/8/2015) sore.

BANDA ACEH -Korban tewas akibat tabrakan beruntun di Jalan Nasional Banda Aceh-Medan kawasan Indrapuri, Aceh Besar, Sabtu (29/8/2015) sore dilaporkan bernama Syukur Zainon (30) yang lebih dikenal dengan panggilan Cut Lem yang disebut sebut mantan kombatan, warga Gampong Lheu, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar.

Belum diketahui apakah Cut Lem yang menyopiri Toyota Rush BL 710 JC atau korban sebagai penumpang. Namun menurut laporan Toyota Rush melaju dari Banda Aceh untuk pulang ke Indrapuri sedangkan dari arah Medan ke Banda Aceh meluncur Avanza pelat merah BL 205 PC, dan Innova masih pelat putih BL 1193 EG.

Saksi nata menyebutkan, antara Rush dengan Avanza terlibat laga kambing sedangkan bagian belakang Avanza dihantam lagi oleh mobil Innova. Informasi ini sekaligus meluruskan berita yang berkembang sebelumnya yang menyebutkan ketiga mobil melaju searah yaitu dari arah Banda Aceh. Musibah itu sendiri terjadi sekitar pukul 16.15 WIB ketika kawasan tersebut diguyur hujan.

Relawan komunikasi RAPI Aceh Besar dan Banda Aceh di lokasi kejadian melaporkan semua korban luka-luka dilarikan ke RSUZA Banda Aceh sedangkan korban meninggal sempat dievakuasi ke RS Satelit Indrapuri. Hingga saat ini belum diketahui identitas korban luka-luka dari ketiga mobil. Kasus itu sendiri sudah ditangani Satlantas Polres Aceh Besar.

sumber:http://aceh.tribunnews.com

Geram, Pria Ini Potong Kelamin Selingkuhan Istri dan Membuangnya ke Toilet

Ilustrasi (foto/dtk)

Tokyo , Pria manapun tentu akan geram ketika mengetahui sang istri berselingkuh. Apalagi jika istrinya menduakan cintanya dengan pria yang lebih tua.
Baru-baru ini kepolisian Jepang menangkap seorang pria bernama Ikki Kotsugai yang diduga mengamuk di sebuah kantor pengacara. Bahkan dalam insiden yang berlangsung Kamis (13/8) pukul 07.40 pagi waktu setempat itu, Ikki dilaporkan tidak hanya mengamuk, tetapi juga melakukan penganiayaan kepada salah seorang pengacara di sana.

Ikki diduga meninju wajah si pengacara berulang kali sebelum akhirnya menarik celana pria tersebut dan memotong alat kelaminnya dengan gunting taman.
Beberapa jam kemudian Tokyo Metropolitan Police Department berhasil memberangus Ikki. Ketika dimintai keterangan, pria berumur 24 tahun itu mengaku tindakannya itu dipicu oleh kabar bahwa si pengacara merupakan selingkuhan istrinya.

Ikki yang juga seorang petinju profesional itu tampaknya tak kesulitan untuk menganiaya si pengacara yang ternyata sudah berumur 42 tahun tersebut. Kepada polisi, Ikki kemudian mengaku telah membuang potongan penis si pengacara ke dalam toilet. Demikian seperti dikutip dari Japan Today, Sabtu (15/8/2015).

Si pengacara dilarikan ke rumah sakit. Saksi mata mengungkapkan ia sempat kehilangan banyak darah, namun nyawanya tidak terancam. Kendati begitu, tidak diketahui dengan pasti bagaimana kondisi si pengacara saat ini.

Kabar ini memicu beragam reaksi dari masyarakat Jepang. Sebagian dari mereka merasa iba dengan sang suami yang diselingkuhi, tetapi ada juga yang menyayangkan tindakan Ikki karena melakukan mutilasi untuk membalas dendam.

Sebelumnya di Tiongkok pernah dilaporkan seorang istri tega memotong kelamin suaminya karena sang suami meminta cerai. Si wanita yang hanya diketahui bernama Zhang itu menduga suaminya ingin menjalin hubungan dengan perempuan lain.

Zhang berhasil melancarkan aksinya setelah memberi suaminya pil tidur. Potongan penis suaminya itu pun dibuang ke toilet. Beruntung alat kelamin sang suami bisa ditemukan dan disambungkan kembali, sedangkan Zhang harus mendekam di penjara. [detik.com]

Kata Ketua FKMB Yusri, Tugas Polisi Menjaga Keamanan Rakyat, Bukan Membunuhnya


Bireuen – Protes dan kutukan terhadap aparat kepolisian terus diterima media ini, terkait dengan penembakan Junaidi alias Beurijuek di SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe pada Kamis, (27/8/2015). Forum Komunikasi Mahasiswa Bireuen (FKMB) melalui ketuanya Yusri pada juangnews.com Sabtu, (29/8/2015) mengutuk keras langkah yang dilakukan oleh pihak kepolisian terkait penembakan yang dilakukan terhadap Beurijuek.

“Kenapa polisi bertindak semaunya saja, padalah tersangka yang ditembak tersebut tidak bersenjata dan tidak ada perlawanan, apakah nyawa rakyat Aceh ini sudah diumpamakan oleh penegak hukum dan polisi sebagai nyawa binatang?” Tanya Yusri geram.

Yusri melanjutkan, supaya polisi dalam bertindak jangan sembarangan, karena sikap brutal aparat keamanan menurutnya bisa memperkeruh suasana damai Aceh.

“Mohon lah bapak polisi dan pihak keamanan di Aceh, sebelum melakukan aksi yang tidak ada perlawanan jangan seenaknya menembak begitu saja,
jangan kalian perkeruhkan suasana damai di Aceh lagi, karena motto kalian menjaga keamanan rakyat bukan membunuhnya,” tegas Yusri.

sumber: juangnews.com

Istri Beurijuek: Sayang Sekali Anak-Anak Saya, Masih Kecil Sudah Kehilangan Ayahnya

Kondisi rumah Beurijuek yang memprihatinkan di Alue Papeun Aceh Utara
Aceh Utara – Wanita ini hanya bisa termangu, matanya sesekali menerawang, ada bulir bening di sudut matanya, sesekali dia menghapusnya. Namanya Cut Lilis Suryani (26). Ia merupakan istri almarhum Junaidi alias Beurijuek, yang merupakan anggota Kelompok Din Minimi yang tewas ditembak oleh polisi, di area SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe.

Cut Lilis menceritakan bahwa suaminya sempat pulang ke rumah di Desa Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara, sebelum pergi ke Kota Lhokseumawe pada hari naas itu.

Seperti dirilis Portalsatu.com ia menjelaskan dirinya dan anak-anak sempat bertemu dengan suaminya pada pagi hari itu, namun menjelang siang sang suami pun pergi lagi dijemput oleh seorang temannya dengan menggunakan sepeda motor.

Cut Lilis mengaku tidak mengetahui jika sang suami mau ke Kota Lhokseumawe.
“Saat itu waktu mau menjelang Zuhur. Diapun (almarhum-red) tidak sempat makan siang langsung berangkat dengan temannya,” ungkap Cut Lilis.

Aku Cut Lilis lagi, Kamis sore kemarin, beberapa personil polisi bersenjata mendatangani rumahnya di Alue Papeun.
“Ya, ada sekitar empat mobil mereka menanyakan apakah benar ini rumah Junaidi. Setelah itu mereka masuk dan melihat seluruh isi rumah, termasuk menanyakan beberapa hal kepada saya dan ibu,” kata Cut Lilis.

Katanya, paska polisi masuk ke rumah, anak-anaknya menjadi takut dan terkejut. Ia juga mengaku sangat sedih mengingat nasib anak-anaknya yang masih kecil sudah harus kehilangan ayahnya.
“Sayang sekali anak saya, masih kecil sudah kehilangan ayahnya. Saya berdoa kepada Allah semoga abang tenang di sisi Allah, amin,” kata Cut Lilis dengan suara bergetar, seraya menghapus buliran air mata yang jatuh ke pipinya.

sumber:Portalsatu.com

Thursday, August 27, 2015

Kesaksian Petugas SPBU: Sebelum Ditembak, Beurijuek Sempat Minta Ampun Pada Aparat

Lokasi Beurijuek ditembak
Lhokseumawe – Ternyata sebelum ditembak di area SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe Kamis, (27/8/2015) kemarin, Junaidi alias Beurijuek sudah meminta ampun pada aparat yang menyergapnya, hal ini berdasarkan kesaksian salah seorang petugas SPBU yang namanya minta dirahasiakan, (27/8/2015) kemarin. Tapi permintaan tersebut tidak digubris, dan dor…! dor…! dor…! mesiu panas itupun dilepaskan aparat, sehingga Berijuek langsung tewas di tempat, sedangkan seorang temannya diringkus hidup-hidup.

Sumber statusaceh.com yang merupakan salah seorang karyawan SPBU yang tidak mau dituliskan identitasnya ini menyebutkan, korban dan kawannya sebelumnya singgah di tempat parkir depan musala SPBU dengan mengendarai sepeda motor jenis RX King sekitar pukul 15:00 WIB, selanjutnya Junaidi berjalan menuju WC depan musala, tiba-tiba aparat kepolisian datang dengan menggunakan mobil Innova warna hitam metalic dan langsung meringkus kawannya Junaidi, selanjutnya Junaidi yang baru keluar dari WC pihak kepolisian langsung menodong Junaidi dengan senjata, dan Junaidi pun sempat meminta ampun, selanjutnya pihak kepolisian langsung menembak Junaidi di kaki, di tangan dan leher hingga tewas.

Keterangan petugas SPBU ini bertolak belakang dengan keterangan Kapolres Lhokseumawe AKBP. Anang Triarsono yang sempat dilansir juangnews.com Kamis, (27/8/2015) kemarin, yang mengatakan, Junaidi alias Beurijeuk yang merupakan warga Nisam Antara, Aceh Utara tersebut, terpaksa ditembak oleh petugas karena mencoba melarikan diri.

“Saat melakukan penyergapan di TKP, Bj mencoba untuk melarikan diri dan petugas sempat melepaskan tembakan peringatan ke udara, karena masih melarikan diri akhirnya petugas langsung menembak tersangka,” ungkap Kapolres Anang. Alamak!

Sumber statusaceh.com

Ketua F-KAMAR: Penembakan Beurijuek Telah Mengusik Damai Aceh

Abdul Manan Isda, Ketua F-Kamar (foto/dok)    
Bireuen – Forum Koalisi Aksi Masyarakat Aceh Reformasi (F-KAMAR) Bireuen melalui ketuanya Abdul Manan Isda mengecam keras penembakan yang dilakukan aparat kepolisian atas Junaidi alias Beurijuek di area SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Kamis (27/8/2015) kemarin. Hal ini diungkapkan Abdul Manan Isda pada juangnews.com Jumat, (28/8/2015).

“Kejadian tersebut sangat disesalkan. Apalagi dalam penembakan oleh anggota polisi tersebut Beurijuek dalam keadaan tanpa senjata,” kata Manan.

Selanjutnya Manan mengungkapkan, informasi yang mereka peroleh berdasarkan saksi mata dari masyarakat yang berada di lokasi. Beurijuek sudah memohon agar dia tidak ditembak, tapi tetap ditembak juga.

“Kami dari F-KAMAR tidak bisa menerima tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, mengingat Beurijuek merupakan sipil yang tak punya senjata. Kami mengharapkan para penegak hukum harus berlaku adil terhadap kasus tersebut, dan tidak boleh sepihak dalam melihat kasus tersebut,” kata Manan lagi.
F-KAMAR juga berharap kasus tersebut harus diusut tuntas. Mengingat kejadian tersebut telah mengusik indahnya damai di tengah masyarakat Aceh.

“Aparat harus bertanggungjawab atas aksi itu. Bila perlu dibawa ke ranah hukum. Daerah Aceh bukan lagi DOM, mereka harus tahu itu, kalau tidak cabut saja istilah damai di Aceh. Jadi tidak ada artinya lagi MOU Aceh. Semua itu omong kosong. Ini negara hukum, sepatutnyalah bertindak sesuai dengan etika hukum yang berlaku, yang salah tetap salah, jadi tidak boleh tebang pilih,” pungkas Manan.

Terduga Anggota Din Minimi "Breujuk" Tewas






Lhokseumawe,-Terduga Anggota Din Minimi "Breujuk" Tewas Dilumpuhkan Polisi

LHOKSEUMAWE - Junaidi alias Breujuk (30) terduga anggota kelompok bersenjata pimpinan Din Minimi tewas seketika di SPBU Batuphat Lhokseumawe usai diterjang timah panas oleh petugas kepolisian daerah Aceh, Kamis (27/8/2015) siang tadi.

Menurut informasi awal yang dihimpun, sebelum tewas Breujuk sedang berboncengan dengan rekannya menggunakan sepeda motor RX KING.

Tim Kepolisian Polda Aceh ketika itu sudah membuntuti keduanya dan meminta agar Breujuk segera berhenti. Namun DPO Polda Aceh ini malah melawan petugas ketika berhenti di SPBU.
Petugas pun terpaksa melumpuhkan pelaku dengan timah panas hingga tewas seketika bersimbah darah. Sementara rekannya berhasil diamankan.

Hingga berita ini diturunkan, belum terima keterangan resmi dari pihak kepolisian terkait hal itu. Sementara jasad DPO asal Desa Sido Mulyo Kuta Makmur, Aceh Utara itu kini sudah dibawa ke RSUD Cut Meutia Lhokseumawe,.

Hasan Tiro Berontak bukan Karena Tak Dapat Proyek di Arun?


BANDA ACEH – Tuduhan deklarator Aceh Merdeka DR Hasan M di Tiro, Ph.D, LL.D melawan Indonesia karena tidak mendapat proyek di PT Arun Blang Lancang Aceh Utara sebagaimana disuarakan selama ini, telah disanggah dalam buku terbaru yang ditulis oleh Murizal Hamzah dengan judul “Hasan Tiro; Jalan Panjang Menuju Damai Aceh.”

“Keliru besar menyatakan Hasan Tiro mendirikan Aceh Merdeka karena tidak mendapat tender di PT Arun,” tegas Direktur Utama Bandar Publishing (BP) Mukhlisuddin Ilyas kepada wartawan, Senin (17/11/2014).

Mukhlisuddin menegaskan, dalam buku yang ditulis oleh Murizal Hamzah (wartawan) dengan editor M. Adli Abdullah dipaparkan bahwa benih perlawanan terhadap rezim Indonesia sudah dilakukan sejak 1960-an. Bahkan di buku Atjeh bak Mata Donja yang terbit 1968, Hasan Tiro secara terbuka menyatakan Aceh adalah sebuah negara yang berdaulat.

“Ada fakftor utama dan faktor pemulus sehingga Hasan Tiro mendirikan ASNLF. Alasan Wali Negara mendirikan Aceh Merdeka dibahas di buku sederhana ini dilengkapi foto dan dokumen,” ujar Mukhlisuddin singkat.

Direktur Utama BP itu menambahkan di buku ini juga ditampilkan salinan surat yang dikirim oleh Hasan Tiro kepada Perdana Menteri Mr.Ali Sastrowidjojo. Isi pesan surat itu sudah lazim kita ketahui yakni meminta Indonesia menyelesaikan perlawanan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi dan lain-lain di meja perundingan. Hasan Tiro mengetik rapi surat sepanjang tiga halaman tersebut. Hasan Tiro juga mengirim tembusan surat itu kepada Presiden Sukarno. Ini dokumenter baru yang jarang diungkapkan.

“Ternyata surat terbuka dari Hasan Tiro ini dimuat di halaman pertama harian terbitan Jakarta. Salinan surat yang diteken oleh Hasan Tiro juga dimuat di buku setebal 684 halaman ini,” kata Mukhlisuddin.
Buku yang terdiri dari tiga bab ini diawali dari kepulangan HasanTiro ke Aceh pada Oktober 2008 dan meninggal dunia pada Juni 2010 (2015 genap 5 tahun Hasan Tiro wafat). Kemudian bab 2 mengulas masakecil Hasan Tiro hingga menikah dengan Dora di Amerika.
Terakhir, berkaitan dengan pergulatan GAM, melatih AGAM di Libya hingga anggota GAM yang tidak syahid walaupun diberondong dengan senjata panjang. Unsur-unsur mistik GAM menarik dikupas termasuk dijelaskan biaya perang di Aceh yang menghabiskan miliaran rupiah setiap harinya pada era Darurat Militer.

(Sumber : aceh.tribunnews.com )

Tuesday, August 25, 2015

Bekerja dan Urus Ibunya, Pria Tanpa Tangan Ini Bikin Jutaan Netizen Menangis

Cheng Xingying (48), sejak 2014 harus mengurus ibunya yang sudah renta dan sakit-sakitan, meski harus susah payah menyuapi sang ibu.
Kisah hidup seorang petani asal Chongqing, China, ini memberi pelajaran bagi banyak orang untuk tidak menyerah dalam hidup meski seumur hidup bergelut dengan kesulitan.

Cheng Xingyin (48), warga desa Tongxin, ini kehilangan kedua tangannya akibat kecelakaan saat masih berusia tujuh tahun.

Namun, kondisi ini tak membuat Cheng menyerah.
Bahkan, dia tetap menggeluti pekerjaannya sebagai petani.
Setelah hampir seumur hidupnya tak memiliki tangan, Cheng sangat mahir melakukan berbagai pekerjaan dengan kedua kakinya atau anggota tubuh lainnya.

Dia bahkan bisa bercocok tanam, mengangkut hasil ladangnya, memasak di dapur, dan memberi makan kambing-kambing peliharaannya.

Bahkan, Cheng di tengah keterbatasan fisik dan ekonominya masih mampu mengurus ibunya yang renta dan sudah lama terbaring di tempat tidur karena sakit.

Cheng adalah anak termuda dari enam bersaudara.
Sejak 2014, dia mengurus ibunya yang berusia 88 tahun yang menderita bronkitis sejak lima tahun lalu.
Setiap hari dia memasak dan memberi ibunya makan tiga kali sehari.

Bahkan, meski tak memiliki kedua tangan, Cheng tetap menyuapi ibunya makan.
Semangat Cheng yang pantang menyerah dan cintanya kepada sang ibu meski dililit keterbatasan membuatnya menjadi warga teladan di desa tempat tinggalnya.

Banyak warga yang menjadikan Cheng suri teladan untuk anak-anak mereka, sebagai contoh anak yang sangat mencintai orangtuanya.

"Meski Cheng tak memiliki tangan, dia bekerja lebih cepat dibandingkan sebagian besar orang normal," kata seorang penduduk desa.

Kisah luar biasa Cheng ini kemudian diunggah ke dunia maya dan segera menjadi buah bibir para netizen.
"Dalam banyak hal, kakinya lebih berguna dibanding tangan saya. Apa yang membuat saya menghormati dia adalah kerasnya dia bekerja untuk memperbaiki hidupnya dan tidak bergantung pada pertolongan orang lain," ujar seorang pengguna media sosial.

"Saat melihat foto dia menyuapi ibunya, saya merasa ingin menangis," ujar pengguna media sosial lainnya.
"Orang seperti dia layak mendapatkan lebih banyak perhatian dan harus menjadi contoh bagi kita. Saya doakan dia hidup bahagia," kata seorang netizen.

PN Lhoksukon Gelar Sidang Kedua Anggota Din Minimi, Saksi Tidak Mengenal Doyok dan Muzakir

Ilustrasi
Aceh Utara – Jaksa Penuntut Umum menghadirkan SY (39), warga Desa Tambon, Aceh Utara selaku pemilik mobil rental yang digunakan Muzakir (43) dan Marsuddin (39) dalam aksi penculikan Mak Woe di Krueng Geukuh, Dewantara, Aceh Utara beberapa bulan lalu.

Dalam persidangan terungkap jika SY (39) di bawah sumpah, tidak mengenal Muzakir dan Marsuddin, namun dirinya mengenal IR salah satu terdakwa yang diduga terlibat dalam penculikan Mak Woe karena IR yang mengambil mobil rental tersebut kepada dirinya, menurut SY, IR pada awalnya merental mobilnya untuk mengikuti pesta perkawinan, antar pengantin ke Sigli, SY baru mengetahui mobilnya digunakan untuk menculik Mak Woe saat mobilnya diamankan Penyidik Polres Lhokseumawe. Begitulah yang terungkap di Pengadilan Negeri Lhoksukon, Aceh Utara, Senin (24/8/2015).

Kedua terdakwa, Muzakir dan Marsuddin hadir dan di dampingi tim penasehat hukumnya, Zulfikar, SH selaku Wadir Ops LBH Banda Aceh dan Fauzan, SH selaku Koordinator LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe.

“Terkait pembelaan terhadap terdakwa, kita saat ini sedang mengupayakan saksi-saksi yang meringankan klien kami,”

Sidang lanjutan akan digelar pada 31 Agustus 2015 mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU, jaksa akan menghadirkan polisi dari Polres Lhokseumawe.

Ini Kronologis Penangkapan Bandar Sabu 6 Kg Oleh Jajaran Polres Bireuen

Bandar narkoba (pakai sebo) saat konferensi pers (foto/fajri)
Bireuen – Kepolisian Resort Bireuen dalam konferensi pers Selasa, (25/8/2018) di Aula Mapolres Bireuen menghadirkan tersangka Muliadi Bin Saiful (27). Pemuda asal Dusun Kuta Baro, Desa Gampong Jawa Kecamatan Idi Rayek, Kabupaten Aceh Timur ditangkap jajaran Sat Lantas Polres Bireuen Senin, (24/8/2015) kemarin saat digelar razia rutin  di Jalan Nasional Medan-Banda Aceh di kawasan Desa Blang Padang Kasab, Kecamatan Peulimbang, karena kedapatan membawa narkoba jenis sabu seberat 6 kg.

Barang bukti yang disita 6 kg sabu yang sudah dikemas dengan kertas aluminium foil warna kuning, berserta satu sepeda motor Vario warna hitam tanpa nomor polisi, satu buah HP Samsung lipat warna hitam, 1 Buah HP Apple warna putih.

Kapolres Bireuen AKBP.M.Ali Khadafi kepada wartawan mengatakan saat ditangkap Musliadi membawa sabu-sabu  yang dimasukkan dalam tas Outdoor Edventure yang didalamnya berisi 5 bungkus besar sabu yang dikemas dengan kertas aluminium foil warna kuning, plus satu bungkus besar dikemas dengan kertas Korban Hitam. Dikatakan Ali Khadafi berdasarkan pengakuan Muliadi barang tersebut merupakan milik Imran (24) (DPO) warga Desa Cot Blang Geulumpang, Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur dan Sidin (27) DPO warga desa yang sama.

“Muliadi yang kita tangkap kalau barang tersebut berhasil dibawa sampai tujuan diberi upah Rp. 18 juta,” jelas Ali Khadafi.

Ali Khadafi juga menambahkan tersangka Muliadi Bin Saiful ini sebelumnya kepada penyidik mengakui bahwa Juli 2015 lalu sudah pernah membawa 6 bungkus besar sabu ke Banda Aceh tepatnya di Simpang Surabaya dengan mendapatkan upah sebesar Rp. 21 Juta.

“Ini yang kedua tersangka membawa sabu-sabu berhasil ditangkap oleh jajaran Sat Lantas Polres Bireuen saat razia rutin,” demikian Ali Khadafi.

Sunday, August 23, 2015

Persoalan Bendera Harus Didialogkan Lagi


BANDA ACEH - Anggota Komisi VI DPR RI asal Aceh, Zulfan Lindan, mengatakan, persoalan bendera Aceh, Bintang Bulan, harus segera didialogkan atau dimusyawarah kembali untuk mencari solusi terbaik.
Pernyataan tersebut disampaikan menanggapi pengibaran Bendera Bintang Bulan yang baru-baru ini dilakukan oleh anggota DPRK Aceh Utara dan Lhokseumawe, serta mahasiswa dari UIN Ar-raniry saat refleksi sepuluh tahun tahun perdamain Aceh beberapa hari lalu.

Zulfan mengatakan, persoalan bendera daerah Aceh sebagaimana tertuang dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera, memang sepatutnya perlu pengkajian dan pembahasan lebih lanjut di tingkat nasional. Menurutnya, pemerintah harus legowo untuk memahami bahwa itu semua lahir karena ada sebab dan histroris yang cukup panjang.

“Jadi saya rasa kita harus tahu dulu mengapa dan bagaimana historisnya sehingga itu lahir. Mungkin ada akar permasalahanyang belum kita selesaikan, berarti ya harus dimusyawarahkan kembali,” cetus Zulfan seusai menjadi narasumber dalam kegiatan temu pakar dan tokoh di Hermes Palace Hotel, Jumat (21/8).
Menurutnya, dalam kehidupan bernegara, sejatinya harus memahami dan mengadopsi semangat yang ada pada daerah-daerah tertentu, tak terkecuali seperti Aceh. Anggota Komisi VI DPR RI itu mengatakan, persoalan Bendera Bintang Bulang jangan langsung dianggap sebagai sebuah pertentangan dan akan melahirkan konflik.

“Mari berdialog dan cari solusi terbaik jika ingin masalah ini selesai, semuanya harus sama-sama enak dan tetap harus menghargai historis daripada itu semua,” ujar Zulfan.

Zulfan juga tak menampik, bahwa selama ini kedua pihak sudah melakukan hal itu, namun menurutnya itu belum optimal. “Selama belum ada solusi, tetap harus berdialog. Jika pemerintah pusat ingin begini dan Pemerintah Aceh inginnya begitu, itu tidak akan ketemu, semoga ke depan ada solusi terhadap masalah ini,” demikian Zulfan Lindan.

Kemarin, Zulfan Lindan hadir di Hermes Palace Hotel dalam rangka menjadi narasumber pada acara temu pakar dan temu tokoh membahas implementasi pancasila, UUD 1945, dan sistem ketatanegaraan yang dilaksanakan oleh Kesbangpol Linmas Pemko Banda Aceh. Dalam kesempatan itu ia mengajak semua kalangan masyarakat untuk menanam kembali nilai-nilai pancasilan dan UUD 1945 dalam kehidupan bernegara.

Rencana Pemerintah Minta Maaf Terhadap PKI Dikecam Brigade PII Aceh

Salah satu pelajar sedang berorasi di bundaran simpang 5 Banda Aceh | Foto: Suarakomunikasi 
Banda Aceh-Apabila pemerintah benar-benar melanjuti permintaan maaf terhadap PKI, ini kebijakan yang salah, karna dengan tidak sengaja bahwa pemerintah pusat menganggap PKI itu benar.

Hal itu disampaikan, Kepala Staf Administrasi Brigade Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh, Muhammad Furqan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah berencana akan meminta maaf kepada keluarga korban Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada saat zaman orde baru.

Menurut Furqan, apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini akan menjadi pembohongan dan pemutarbalikkan fakta sejarah kepada generasi selanjutnya, karena generasi-generasi ke depan harus mengetahui bahayanya Komunis.

“Generasi kedepan harus sadar betapa susahnya, dan banyak korban yang berjatuhan dalam usaha menumpaskan Komplotan Komunis yang ingin menguasai Indonesia, dan beberapa jendral juga ikut menjadi korban atas kebiadaban PKI dulu,” lanjutnya.

Lanjut Furqan, Brigade PII Aceh mengecam dengan apa yang sedang diupayakan pmerintah saat ini, dan Brigade PII Aceh siap turun lagi dalam hal membantu bangsa dan negara secara nasional untuk mengontrol Pergerakan komunis di Indonesia, “Ini karena menjadi permasalahan menyangkut dengan ummat dan bangsa Indonesia.”

Di sisi lain, Furqan mengatakan, jika permintaan maaf menjadi alasan karena pelanggaran HAM, bukan hanya terjadi saat dengan PKI, tapi, banyak peristiwa-peristiwa lain yang melanggar HAM.

Salah satunya kata Furqan, banyak korban konflik di Aceh pada masa Darurat Militer. “Dimana pemerintah? Dimana HAM?”. Seharusnya ini juga dibicarakan agar cepat mendapat solusinya, dan kami harap segera di selesaikan di pusat.

Tjipta Lesmana: Kalla Minta Jokowi Pecat Rizal atau Mundur dan Gaduh Politik


Tjipta Lesmana ikut mengompori perseteruan Wapres Jusuf Kalla dengan Menko Maritim Rizal Ramli yang tengah memanas. Tjipta, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) menyebut Wakil Presiden jusuf Kalla mengancam akan mundur jika Presiden Joko Widodo tidak mengganti Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli "JK mengancam (ke Jokowi) kalau Pak Rizal ini tidak dipecat, dia mau bercerai (mundur)," ujar Tjipta di Jakarta, Sabtu (22/8/2015), sebagaimana dilansir Kompas.com (22/8/2015).

Pernyataan Tjipta itu sontak membuat publik kaget. Benarkah demikian? Memang informasi yang diungkap Tjipta tersebut sampai saya tulis artikel ini belum mendapat konfirmasi dari pihak istana, baik Presiden atau Wakil Presiden. Namun, Tjipta mengaku tidak heran jika memang informasi itu benar adanya. Ini berarti juga Tjipta mendapat informasi bersifat A1 itu dari kalangan istana. Adalah naïf bagi seorang Tjipta jika mengobral pernyataan itu tanpa sumber-sumber yang dapat dipercaya.

Ada dua poin sangat penting dari pernyataan mengejutkan Tjipta itu. Pertama, Kalla meminta Jokowi untuk memecat Rizal. Kedua, Jika Jokowi tidak memecat Rizal, maka Kalla akan mengundurkan diri sebagai wakil Presiden. Kedua poin ini tentu saja menjadi buah simalakama bagi Jokowi. Namun untuk melihat kecenderungan keputusan Jokowi, perlu sedikit melihat ke belakang keberadaan Kalla sebagai Wapresnya Jokowi.

Selama sepuluh bulan menjadi Wapres Jokowi, peran Kalla memang tidak semenonjol perannya saat menjadi Wapres SBY tahun 2004-2009. Dari bulan Oktober 2014 sampai Agustus 2015 ini, peran populer Kalla terkesan hilang. Malahan Kalla hanya dikenal publik lewat perbedaan pendapatnya dengan Presiden Jokowi (catatan penulis sudah 11 beda pendapat Jokowi-JK).

Jokowi sendiri memang tidak memberi wewenang lebih kepada Wapres Jusuf Kalla selain yang diatur oleh Undang-undang. Malahan Jokowi cenderung mengebiri wewenang Jusuf Kalla dengan memasang Luhut Pandjaitan dan Andi Widjajanto di sekitar kekuasaannya (Ring 1). Jokowi paham bahwa Jusuf Kalla akan memanfaatkan kekuasaannya jika diberi wewenang lebih untuk kepentingan bisnisnya. Sejumlah perusahaan Kalla ikut juga bermain dalam Proyek listrik 35 ribu MW itu. Itu salah satu contohnya.
Ada sinyal sebelumnya bahwa hubungan antara Jokowi dengan Jusuf Kalla sudah semakin retak. Pertemuan ‘empat mata’ antara Jokowi dengan Jusuf Kalla menjelang reshuffle adalah hanya sebagai bumbu politik dan seremoni simbol Presiden dan Wakil Presiden di hadapan publik agar terkesan hubungan Jokowi-Kalla masih dalam tataran harmonis. Pada hal jauh di bawah permukaan, hubungan itu dapat diibaratkan sebagai hubungan yang bernada sumbang atau bagaikan kerikil di dalam sepatu. Terlalu banyak yang mengganjal.

Bukan tidak mungkin saat pertemuan ‘empat mata’ itu Kalla meminta Jokowi tidak mengangkat Rizal Ramli. Namun Jokowi bersih keras, demi menyelamatkan ekonomi dan kepentingan yang lebih besar, Rizal amat dibutuhkan sosoknya di dalam kabinet. Publik masih ingat bahwa hubungan Jusuf Kalla dengan Rizal Ramli dulunya dalam kabinet Gus Dur sama sekali tidak akur. Terbukti kemudian Kalla dipecat Gus Dur, sedangkan Rizal diberi wewenang lebih.

Lalu jika benar pernyataan Tjipta dan disebarluaskan oleh Kompas.com, maka ada beberapa alasan Kalla untuk mengancam Jokowi. Pertama, Kalla merasa semakin tidak jelas perannya sebagai Wapres Jokowi. Kedua, Rizal menjadi saingan baru Kalla bahkan menjadi duri dalam daging Kalla dalam pemerintahan Jokowi-JK. Ketiga, Kalla mungkin ingin beristirahat dalam politik yang terus gaduh mengingat umurnya sudah hampir 80 tahun, sedangkan perusahaannya sudah dialihkan kepada keluarganya. Jadi Kalla ingin menikmati masa tuanya tanpa diusik oleh kegaduhan politik. Selain itu, Kalla ingin memenuhi janjinya pulang kampung dan bekerja sebagai penjaga Mesjid.

Lalu jika benar Kalla meminta Jokowi memecat Rizal apakah Jokowi mengabulkannya? Jelas tidak. Jokowi mungkin akan membela Rizal demi kepentingan nasional. Bagi Jokowi, tidaklah cukup alasan memecat Rizal hanya karena Rizal menantang Kalla berdebat di muka umum tentang proyek listrik 35 ribu MW itu. Lagi pula apa yang salah dalam kritik Rizal itu? Sudah tentu jika Jokowi tidak tunduk pada kemauan Kalla, maka konsekuensinya Kalla mundur. Lalu apa yang terjadi jika Kalla benar-benar mundur sebagai Wapres Jokowi?

Pertama, jelas ada kegaduhan politik. Pelemahan Rupiah akan terus berlanjut dan bisa melebihi level Rp 15.000 per dollar AS. Pengunduran diri Kalla akan menggoncang pemerintahan Jokowi dan ekonomi Indonesia untuk sementara ikut tergoncang. Jokowi tentunya sedapat mungkin menahan Kalla. Namun jika Kalla ngotot mundur karena Jokowi tidak memecat Rizal, maka Jokowi lebih cenderung membiarkan Kalla mengundurkan diri. Toh perannya sudah tidak signifikan bagi Jokowi. Malah ketidakhadiran Kalla membuat rencana Jokowi semakin lancar.

Kedua, pengunduran diri Kalla sedikit membuat Presiden Jokowi goyah. Namun kegoyahan itu hanya sementara. Beberapa waktu lalu, Jokowi telah selesai melakukan konsolidasi politiknya. Jokowi telah berhasil membentuk poros kekuatan di belakangnya: Moeldoko, Gatot, Sutiyoso, Mulyono dan Luhut. Jadi tidak ada pihak yang berani mengambil alih kekuasaan dari tangan Jokowi baik dari KMP, KIH ataupun dari DPR yang akan mengadakan sidang istimewa MPR.

Ketiga, ada polemik siapa yang bakal menjadi wakil Jokowi. Namun bagi Presiden Jokowi sendiri, jika benar Kalla mundur, ia telah siap menunjuk wakilnya. Tentu saja dengan persetujuan PDIP dan tetap berdasar pada peraturan perundangan. Jokowi telah mempersiapkan Moeldoko sebagai wakil presiden yang baru. Moeldoko juga merupakan sosok yang disegani baik lawan maupun kawan. Dan yang paling penting adalah jika Moeldoko berhasil menjadi wakil presiden Jokowi, maka seluruh kekuatan TNI ada di belakang Jokowi.

Benar tidaknya pernyataan Tjipta Lesmana itu akan dibuktikan oleh waktu. Jika hal itu pun benar-benar terjadi, Jokowi telah siap, PDIP telah siap dan Moeldoko juga telah siap. Masyarakat tentunya juga tidak terlalu keberatan jika Kalla mengundurkan diri. Toh bukan Jokowi yang mundur. Kalla berhasil menjadi wakil presiden karena sosok Jokowi sebelumnya. Tanpa Jokowi, Kalla tidak pernah berhasil menjadi wapres kedua kali. Namun tanpa Kalla, Jokowi masih bisa menjadi Presiden Republik Indonesia. Akankah Kalla benar-benar mengancam Jokowi? Mari kita tunggu kekrisuhan politik selanjutnya.

Sumber Ilustrasi: kompas.com